MENULIS: MENGURAIKAN KATA SEBAGAI SENJATA
Banyak orang berpendapat bahwa
menulis itu adalah suatu pekerjaan yang sangat sulit. Namun ada juga yang berpandangan
sebaliknya, pandangan dari kelompok ini menganggap bahwa menulis itu adalah
sesuatu hal yang sangat mudah. Terlepas dari dua pandangan yang saling
berlawanan tersebut, tentu keduanya memiliki alasan-alasanya tersendiri dalam
memandang seperti apa kesulitan dan kemudahan dalam membuat sebuah tulisan.
Dari sudut pandang yang pertama, dimana seseorang itu telah memandang bahwa menulis itu adalah salah satu
aktivitas yang sangat sulit, biasanya orang tersebut memandang bahwa menulis
itu sangat menyulitkan karena menurut pandangan seperti ini, dalam membuat sebuah
tulisan seseorang harus mempersiapkan berbagai macam persiapan yang sangat
banyak, seperti misalanya kondisi suasana yang tenang, kenyamanan, ketentraman,
dan berbagai macam modal pemikiran yang kuat dengan beragam perangkat-perangkat
persiapannya yang “mapan” di dalam pemikiran seseorang.
Selain itu, sudut pandang
kelompok ini pun biasanya menganggap bahwa menulis itu sangat sulit karena dalam
membuat sebuah tulisan harus sesuai dan ditentukan oleh berbagai macam kaidah-kaidah
umum yang berlaku, yang dimana dalam kaidah-kaidah tertentu biasanya telah dijadikan
sebagai sebuah standar kriteria penulisan yang baik dan benar. Oleh karenanya, jika
ada sebuah tulisan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah umum tersebut, maka
tulisan itu akan dianggap sebagai sebuah tulisan yang buruk dan tidak berguna.
Karena dengan ada banyaknya
kerumitan-kerumitan yang perlu disiapkan dalam membuat sebuah tulisan tersebut,
maka sampai pada hari ini banyak orang yang telah menganggap bahwa menulis itu
adalah sebuah aktivitas yang menyulitkan, sehingga dalam mengerjakannya seakan-akan
hanya sekedar membuang-buang banyak waktu dan pikiran seseorang.
Sedangkan di sisi lain, selain
sudut pandang yang pertama seperti yang tertera di atas, bagi sudut pandang
yang kedua, pandangan ini melihat sebaliknya
dari sudut pandang yang pertama. Menurut sudut pandang ini, menulis itu adalah
kegiatan yang sangat mudah untuk dilakukan. Sudut pandang ini beranggapan bahwa
menulis itu adalah sebuah aktivitas yang mudah karena sebenarnya apa pun yang
akan kita tulis sebenarnya dapat diambil dari apa saja yang telah kita lihat,
kita dengar, dan kita rasakan.
Oleh karenanya, menurut sudut
pandang ini, dasar dari pokok permasalahan seseorang dalam mebuat sebuah
tulisan itu sebenarnya terletak pada mau atau tidak maunya seseorang tersebut ingin
membuat sebuah tulisan. Tak perlu memperumit segala macam
persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan oleh segala macam bentuk
kaidah-kaidah umum yang ditetapkan sebagai kriteria standarisasi syarat kebenaran
sebuah bentuk tulisan.
Sehingga, dalam sudut pandang
orang-orang seperti ini, apa pun sebenarnya yang telah kita dengar, kita lihat,
dan rasakan, jika pada dasarnya seseorang tersebut memiliki keinginan untuk membuat
sebuah tulisan tinggal saja berangkat dari keinginannya untuk menulis. Karena jika
memang pada dasarnya seseorang tersebut ingin membuat sebuah tulisan, dengan
segala macam prosesnya yang dilakukan, tulisan itu tentu saja akan segera terbentuk
dan tercipta. Di sisi lain, seseorang yang menulis dari apa saja yang telah
dilihat, di rasakan, dan pikirkan, seseorang akan menulis dengan suasana dan
perasaan yang lebih bebas dan lepas untuk menuangkan segala macam bentuk
kegelisahan yang ada di dalam pikiran dan perasaannya.
Bagi saya, sebagai orang yang
sering mengalami kemacetan dan kebuntuan sehingga banyak gagalnya dalam membuat
tulisan, saya ingin menempatkan diri saya pada posisi sudut pandang yang kedua.
Yang dimana dalam hal ini, sebenarnya setiap orang bisa saja membuat sebuah
tulisan jika memang pada dasarnya di dalam dirinya telah memiliki keinginan yang
kuat untuk menulis. Melalui dari apa saja yang telah kita lihat, kita dengar,
dan kita pikirkan. Lupakan terlebih dahulu segala macam “tetek-bengek” yang
membuat kita menjadi kaku dalam hal menulis. Keberanian dan keinginan yang penuh
percaya diri perlu kita jadikan sebagai kunci untuk memulai segalanya.
Jika saya meminjam sudut pandang
Edmund Husserl (1859-1938), seorang filsuf fenomenologis asal kebangsaan
Jerman. Dalam sudut pandangannya, Husserl berpendapat bahwa, seseorang (manusia)
dalam bentuk keberadaanya, seseorang berada pada posisinya yang selalu
berhadap-hadapan dengan dunia (fenomena) yang ada di hadapannya, yang dimana
posisi seseorang tersebut secara subjektif merupakan sebuah bentuk kesadaran dalam
menangkap setiap objek-objek yang ada di hadapan dirinya.
Keberhadapan seseorang dengan
dunianya inilah, yang pada titik tertentu secara tidak langsung telah membentuk
kesadarannya dalam menangkap dan menemukan berbagai macam makna atas apa yang ia
hadapi dari dunia yang ada di luar dirinya, yaitu fenomena. Dalam pandangan Husserl,
istilah ini disebut dengan istilah intensionalitas. Yang dimana, pikiran dan
kesadaran manusia pada dasarnya berada dalam garis lurus yang berhadapan dengan
segala macam obyek. Dari sinilah, kesadaran setiap orang pada dasarnya dapat menangkap
suatu makna atas apa yang ia rasakan, ia lihat, dan ia pikirkan pada
objek-objek tertentu.
Melalui sudut pandang Husserl,
kita dapat menangkap bahwa, pada dasarnya kesadaran setiap orang itu dapat
menangkap sesuatu makna yang ada dihadapannya. Dengan kesadaran subjektif yang
berposisi berhadapan secara lurus dengan segala macam objek yang ada di luar
dirinya ini. Dan jika memang pada
dasarnya seseorang tersebut itu memahami bahwa makna tersebut dapat ia tuangkan
dalam bentuk tulisan, maka tulislah. Tulis apa saja yang telah kita tangkap dari
setiap objek-objek yang kita temukan maknanya. Tanpa perlu terlebih dahulu memikirkan
kerumitan-kerumitan dari segala macam kekakuan kaidah-kaidah umum yang
terkadang menghambat proses penulisan kita. Karena sejatinya, dalam menulis
kita pada dasarnya hanya dihadapkan oleh dua macam pilihan yaitu, mau atau
tidak.
Setiap orang pada dasarnya tidak
pernah bisa lepas dari segala macam kondisi yang ada di luar dirinya, baik itu
dalam arti seperti kondisi sosial, politik, kebudayaan, seni, bahkan kondisi
dalam persoalan perasaan seseorang yang bersifat romatis dan melankolis. Semua
hal itu bisa saja dapat kita jadikan sebagai pemaknaan yang dapat kita tuangkan
dalam bentuk tulisan. Apalagi jika dalam tulisan tersebut telah terdapat sebuah
pesan yang dapat luangkan dan bebaskan dari segala macam rasa kegelisahan yang
terdapat di dalam perasaan dan pikiran kita.
Menulis, pada dasarnya tidak lain
hanyalah suatu bentuk pengungkapan makna atas apa yang kita dapatkan dari
sesuatu yang berada di luar diri kita. Dengan segala macam kondisi yang telah kita
dapatkan maknanya di luar diri kita, makna-makna tersebut pada penharapannya dapat
menjadi suatu petanda akan suatu pesan yang memiliki maksud untuk disampaikan
pada pembaca. Menulis adalah sebuah bentuk dari kerja kebudayaan. Yang dimana hal
itu telah menandakan bahwa manusia adalah subjek yang dapat menciptakan bentuk
kebudayaan, sebagaimana karakteristiknya, manusia menciptakan, membentuk, dan
merumuskan sebuah ide pemikirannya.
Menulis tidak hanya semata-mata
untuk mengutarakan perasaan dan pemikiran seseorang. Begitu juga, menulis bukan
hanya sekedar menguraikan kata-kata sebagai sekedar rentetan aksara. Lebih jauh
lagi, menulis adalah sebuah bentuk penguraian kata-kata yang dapat kita jadikan
sebagai sebuah senjata. Untuk apa? Untuk melawan. Melawan apa? Melawan segala
macam bentuk kemapanan yang berada diluar diri kita. Namun tidak hanya berhenti
sampai disitu, menulis pun dapat kita jadikan sebagai sebuah alat perlawanan
terhadap segala macam bentuk ketakutan-ketakutan yang selama ini melekat dan
bersarang pada diri kita. Oleh karena itu, maka menulislah mulai saat ini.
Akhirnya, dalam akhir tulisan
ini, saya pun ingin mengutip seuntai puisi dari Subcommandante Marcos yang
letaknya persis tertera disampul belakang bukunya dengan judul “Kata Adalah Senjata” (2006). Dalam puisi
tersebut Subcommandante Marcos menulis:
“Adalah kata-kata
Yang memberi bentuk pada sesuatu
yang masuk dan keluar dari diri kita
Adalah kata-kata yang menjadi
jembatan untuk menyebrang ke tempat yang lain
Ketika kita diam, kita akan
tetap sendirian
Berbicara, kita mengobati rasa
sakit
Berbicara kita membangun
persahabatan dengan yang lain
Para penguasa menggunakan kata-kata
untuk menata imperium diam
Kita menggunakan kata-kata untuk
memperbaharui diri kita
Inilah senjata kita
saudara-saudaraku”.
(Subcommandante Marcos, “Kata Adalah Senjata”)
(Subcommandante Marcos, “Kata Adalah Senjata”)
Komentar
Posting Komentar