MENULIS: MENGURAIKAN KATA SEBAGAI SENJATA


Oleh: Salman Ahmad Ridwan

Banyak orang berpendapat bahwa menulis itu adalah suatu pekerjaan yang sangat sulit. Namun ada juga yang berpandangan sebaliknya, pandangan dari kelompok ini menganggap bahwa menulis itu adalah sesuatu hal yang sangat mudah. Terlepas dari dua pandangan yang saling berlawanan tersebut, tentu keduanya memiliki alasan-alasanya tersendiri dalam memandang seperti apa kesulitan dan kemudahan dalam membuat sebuah tulisan.

Dari sudut pandang yang pertama, dimana seseorang itu telah memandang bahwa menulis itu adalah salah satu aktivitas yang sangat sulit, biasanya orang tersebut memandang bahwa menulis itu sangat menyulitkan karena menurut pandangan seperti ini, dalam membuat sebuah tulisan seseorang harus mempersiapkan berbagai macam persiapan yang sangat banyak, seperti misalanya kondisi suasana yang tenang, kenyamanan, ketentraman, dan berbagai macam modal pemikiran yang kuat dengan beragam perangkat-perangkat persiapannya yang “mapan” di dalam pemikiran seseorang.

Selain itu, sudut pandang kelompok ini pun biasanya menganggap bahwa menulis itu sangat sulit karena dalam membuat sebuah tulisan harus sesuai dan ditentukan oleh berbagai macam kaidah-kaidah umum yang berlaku, yang dimana dalam kaidah-kaidah tertentu biasanya telah dijadikan sebagai sebuah standar kriteria penulisan yang baik dan benar. Oleh karenanya, jika ada sebuah tulisan yang tidak sesuai dengan kaidah-kaidah umum tersebut, maka tulisan itu akan dianggap sebagai sebuah tulisan yang buruk dan tidak berguna.

Karena dengan ada banyaknya kerumitan-kerumitan yang perlu disiapkan dalam membuat sebuah tulisan tersebut, maka sampai pada hari ini banyak orang yang telah menganggap bahwa menulis itu adalah sebuah aktivitas yang menyulitkan, sehingga dalam mengerjakannya seakan-akan hanya sekedar membuang-buang banyak waktu dan pikiran seseorang.

Sedangkan di sisi lain, selain sudut pandang yang pertama seperti yang tertera di atas, bagi sudut pandang yang kedua, pandangan ini melihat sebaliknya dari sudut pandang yang pertama. Menurut sudut pandang ini, menulis itu adalah kegiatan yang sangat mudah untuk dilakukan. Sudut pandang ini beranggapan bahwa menulis itu adalah sebuah aktivitas yang mudah karena sebenarnya apa pun yang akan kita tulis sebenarnya dapat diambil dari apa saja yang telah kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan.

Oleh karenanya, menurut sudut pandang ini, dasar dari pokok permasalahan seseorang dalam mebuat sebuah tulisan itu sebenarnya terletak pada mau atau tidak maunya seseorang tersebut ingin membuat sebuah tulisan. Tak perlu memperumit segala macam persyaratan-persyaratan yang sudah ditentukan oleh segala macam bentuk kaidah-kaidah umum yang ditetapkan sebagai kriteria standarisasi syarat kebenaran sebuah bentuk tulisan.

Sehingga, dalam sudut pandang orang-orang seperti ini, apa pun sebenarnya yang telah kita dengar, kita lihat, dan rasakan, jika pada dasarnya seseorang tersebut memiliki keinginan untuk membuat sebuah tulisan tinggal saja berangkat dari keinginannya untuk menulis. Karena jika memang pada dasarnya seseorang tersebut ingin membuat sebuah tulisan, dengan segala macam prosesnya yang dilakukan, tulisan itu tentu saja akan segera terbentuk dan tercipta. Di sisi lain, seseorang yang menulis dari apa saja yang telah dilihat, di rasakan, dan pikirkan, seseorang akan menulis dengan suasana dan perasaan yang lebih bebas dan lepas untuk menuangkan segala macam bentuk kegelisahan yang ada di dalam pikiran dan perasaannya.

Bagi saya, sebagai orang yang sering mengalami kemacetan dan kebuntuan sehingga banyak gagalnya dalam membuat tulisan, saya ingin menempatkan diri saya pada posisi sudut pandang yang kedua. Yang dimana dalam hal ini, sebenarnya setiap orang bisa saja membuat sebuah tulisan jika memang pada dasarnya di dalam dirinya telah memiliki keinginan yang kuat untuk menulis. Melalui dari apa saja yang telah kita lihat, kita dengar, dan kita pikirkan. Lupakan terlebih dahulu segala macam “tetek-bengek” yang membuat kita menjadi kaku dalam hal menulis. Keberanian dan keinginan yang penuh percaya diri perlu kita jadikan sebagai kunci untuk memulai segalanya.

Jika saya meminjam sudut pandang Edmund Husserl (1859-1938), seorang filsuf fenomenologis asal kebangsaan Jerman. Dalam sudut pandangannya, Husserl berpendapat bahwa, seseorang (manusia) dalam bentuk keberadaanya, seseorang berada pada posisinya yang selalu berhadap-hadapan dengan dunia (fenomena) yang ada di hadapannya, yang dimana posisi seseorang tersebut secara subjektif merupakan sebuah bentuk kesadaran dalam menangkap setiap objek-objek yang ada di hadapan dirinya.

Keberhadapan seseorang dengan dunianya inilah, yang pada titik tertentu secara tidak langsung telah membentuk kesadarannya dalam menangkap dan menemukan berbagai macam makna atas apa yang ia hadapi dari dunia yang ada di luar dirinya, yaitu fenomena. Dalam pandangan Husserl, istilah ini disebut dengan istilah intensionalitas. Yang dimana, pikiran dan kesadaran manusia pada dasarnya berada dalam garis lurus yang berhadapan dengan segala macam obyek. Dari sinilah, kesadaran setiap orang pada dasarnya dapat menangkap suatu makna atas apa yang ia rasakan, ia lihat, dan ia pikirkan pada objek-objek tertentu.

Melalui sudut pandang Husserl, kita dapat menangkap bahwa, pada dasarnya kesadaran setiap orang itu dapat menangkap sesuatu makna yang ada dihadapannya. Dengan kesadaran subjektif yang berposisi berhadapan secara lurus dengan segala macam objek yang ada di luar dirinya ini. Dan  jika memang pada dasarnya seseorang tersebut itu memahami bahwa makna tersebut dapat ia tuangkan dalam bentuk tulisan, maka tulislah. Tulis apa saja yang telah kita tangkap dari setiap objek-objek yang kita temukan maknanya. Tanpa perlu terlebih dahulu memikirkan kerumitan-kerumitan dari segala macam kekakuan kaidah-kaidah umum yang terkadang menghambat proses penulisan kita. Karena sejatinya, dalam menulis kita pada dasarnya hanya dihadapkan oleh dua macam pilihan yaitu, mau atau tidak.

Setiap orang pada dasarnya tidak pernah bisa lepas dari segala macam kondisi yang ada di luar dirinya, baik itu dalam arti seperti kondisi sosial, politik, kebudayaan, seni, bahkan kondisi dalam persoalan perasaan seseorang yang bersifat romatis dan melankolis. Semua hal itu bisa saja dapat kita jadikan sebagai pemaknaan yang dapat kita tuangkan dalam bentuk tulisan. Apalagi jika dalam tulisan tersebut telah terdapat sebuah pesan yang dapat luangkan dan bebaskan dari segala macam rasa kegelisahan yang terdapat di dalam perasaan dan pikiran kita.

Menulis, pada dasarnya tidak lain hanyalah suatu bentuk pengungkapan makna atas apa yang kita dapatkan dari sesuatu yang berada di luar diri kita. Dengan segala macam kondisi yang telah kita dapatkan maknanya di luar diri kita, makna-makna tersebut pada penharapannya dapat menjadi suatu petanda akan suatu pesan yang memiliki maksud untuk disampaikan pada pembaca. Menulis adalah sebuah bentuk dari kerja kebudayaan. Yang dimana hal itu telah menandakan bahwa manusia adalah subjek yang dapat menciptakan bentuk kebudayaan, sebagaimana karakteristiknya, manusia menciptakan, membentuk, dan merumuskan sebuah ide pemikirannya.

Menulis tidak hanya semata-mata untuk mengutarakan perasaan dan pemikiran seseorang. Begitu juga, menulis bukan hanya sekedar menguraikan kata-kata sebagai sekedar rentetan aksara. Lebih jauh lagi, menulis adalah sebuah bentuk penguraian kata-kata yang dapat kita jadikan sebagai sebuah senjata. Untuk apa? Untuk melawan. Melawan apa? Melawan segala macam bentuk kemapanan yang berada diluar diri kita. Namun tidak hanya berhenti sampai disitu, menulis pun dapat kita jadikan sebagai sebuah alat perlawanan terhadap segala macam bentuk ketakutan-ketakutan yang selama ini melekat dan bersarang pada diri kita. Oleh karena itu, maka menulislah mulai saat ini.

Akhirnya, dalam akhir tulisan ini, saya pun ingin mengutip seuntai puisi dari Subcommandante Marcos yang letaknya persis tertera disampul belakang bukunya dengan judul “Kata Adalah Senjata” (2006). Dalam puisi tersebut Subcommandante Marcos menulis:  

“Adalah kata-kata
Yang memberi bentuk pada sesuatu yang masuk dan keluar dari diri kita
Adalah kata-kata yang menjadi jembatan untuk menyebrang ke tempat yang lain
Ketika kita diam, kita akan tetap sendirian
Berbicara, kita mengobati rasa sakit
Berbicara kita membangun persahabatan dengan yang lain
Para penguasa menggunakan kata-kata untuk menata imperium diam
Kita menggunakan kata-kata untuk memperbaharui diri kita
Inilah senjata kita saudara-saudaraku”.

(Subcommandante Marcos, “Kata Adalah Senjata”)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

13 NOVEMBER, INGATLAH TRAGEDI SEMANGGI!!!

REFLEKSI ULANG TAHUN IBU